Peran media sosial saat ini sangat berpengaruh. Platform media sosial kini digunakan sebagai panggung untuk mempengaruhi dan merebut opini publik. Namun, satu hal yang kerap luput dari sorotan adalah bagaimana algoritma platform digital bekerja.
Platform digital memiliki kendali yang besar atas apa yang kita lihat, baca, dan pada akhirnya, yakini. Di balik kesan kebebasan berekspresi yang ditawarkan media sosial, ada sistem tersembunyi yang menyaring informasi: algoritma.
Sistem ini secara otomatis menyesuaikan konten berdasarkan perilaku pengguna; apa yang diklik, dibagikan, atau disukai. Akibatnya, setiap orang hidup dalam ruang informasi yang unik dan terkurasi, namun juga sangat sempit.
Ruang Gema Digital dan Polarisasi Politik
Fenomena filter bubble atau echo chamber muncul sebagai dampak dari algoritma yang terus menyajikan konten serupa dengan preferensi pengguna. Seiring waktu, pengguna makin jarang terpapar pada pandangan berbeda. Akibatnya, pemahaman politik menjadi sempit dan cenderung ekstrem.
Lebih ironis lagi, algoritma justru memprioritaskan konten yang menimbulkan emosi kuat, kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan.
Jenis konten seperti inilah yang mendorong keterlibatan paling tinggi. Dalam konteks politik, hal ini membuat isu-isu sensasional dan provokatif lebih mudah viral. Sementara wacana rasional dan berbasis data kerap terpinggirkan.
Aktor di Balik Layar
Siapa yang sesungguhnya berada di balik pengendalian narasi politik ini? Apakah para elite politik, pendukung fanatik, atau perusahaan teknologi global?
Semuanya memainkan peran. Politikus dan tim digital mereka menyusun strategi bukan hanya berdasarkan isi pesan, tapi juga bagaimana pesan itu bisa "menembus" algoritma dan menjadi viral.
Di sisi lain, muncul kelompok-kelompok seperti buzzer dan influencer politik yang sangat paham bagaimana cara "bermain" dengan algoritma demi membentuk opini publik.
Namun, pemain terbesar tetaplah perusahaan pemilik platform. Raksasa teknologi seperti Meta, X (dulu Twitter), dan TikTok memiliki otoritas penuh atas sistem algoritma mereka.
Pemilik platform menentukan apa yang layak tampil, apa yang dibatasi jangkauannya, dan apa yang dianggap melanggar aturan. Meski diklaim berbasis kebijakan dan teknologi netral, keputusan-keputusan ini berdampak langsung pada arah pembicaraan publik.
Menata Ulang Ekosistem Digital
Agar demokrasi tetap sehat dalam era digital, perlu upaya bersama untuk menata ulang ekosistem informasi yang kini dikendalikan oleh sistem tertutup.
Transparansi algoritma adalah langkah awal yang penting. Negara dan masyarakat sipil harus mendorong adanya regulasi yang memungkinkan algoritma diaudit secara terbuka—bukan untuk membungkam, melainkan untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas.
Yang tak kalah penting, masyarakat sebagai pengguna harus dibekali dengan literasi digital yang memadai. Kita perlu memahami bahwa tidak semua yang muncul di lini masa adalah kenyataan objektif.
Kemampuan berpikir kritis dan mengenali manipulasi informasi menjadi kunci agar kita tak mudah terseret arus narasi yang dibentuk secara sepihak.
Kebebasan atau Kendali?
Media sosial membawa janji kebebasan berekspresi, namun kenyataannya, ekspresi itu sering kali diarahkan oleh kepentingan ekonomi dan politik.
Jika algoritma terus menjadi penjaga gerbang utama informasi politik tanpa pengawasan publik, maka masa depan demokrasi bisa terancam oleh sistem yang tak terlihat tapi sangat berpengaruh.
Kini saatnya kita bertanya ulang: apakah ruang digital benar-benar milik publik? Atau justru dikendalikan oleh segelintir aktor yang punya kuasa menentukan narasi mana yang boleh hidup dan mana yang harus tenggelam?
Tantangan masa depan demokrasi bukan hanya soal pemilu yang jujur, tapi juga tentang siapa yang membentuk persepsi pemilih sejak jauh hari dan bagaimana sistem digital mendukung atau justru menghambat ruang publik yang sehat.